Tulungagung – Suasana pemerintahan di Kabupaten Tulungagung belakangan ini menjadi sorotan publik. Tanda-tanda disharmoni antara Bupati Gatotsunu Wibowo dan Wakil Bupati Ahmad Bahrudin semakin terlihat jelas, memicu kekhawatiran akan efektivitas jalannya roda pemerintahan daerah. Ketidaksinkronan ini tidak hanya menjadi perbincangan di kalangan elite politik, tetapi juga telah menarik perhatian masyarakat luas.
Beberapa kebijakan strategis daerah disebut-sebut berjalan tanpa koordinasi yang jelas antara kedua pemimpin. Ada indikasi bahwa sejumlah rapat penting hanya dihadiri oleh salah satu pihak, sementara yang lainnya tidak dilibatkan secara penuh. Kondisi ini menciptakan kesan bahwa pemerintahan berjalan secara parsial dan tidak terintegrasi. Dampaknya, muncul pertanyaan di benak masyarakat, apakah visi dan misi yang pernah dijanjikan saat kampanye masih dapat terwujud jika pemimpinnya tidak kompak?
Puncak dari kekhawatiran ini terlihat dari aksi demonstrasi Pejuang Gayatri pada 11 September 2025 di depan gedung DPRD Tulungagung. Salah satu tuntutan utama mereka adalah agar Bupati dan Wakil Bupati memperbaiki hubungan yang dinilai mengalami kerenggangan. Aksi ini menunjukkan bahwa disharmoni di level pimpinan eksekutif sudah dirasakan dampaknya oleh masyarakat, yang menuntut adanya solusi demi kelancaran pembangunan daerah.
Ketika dikonfirmasi, Wakil Bupati Ahmad Bahrudin secara terbuka menyampaikan keluhannya. Melalui sambungan telepon pada Selasa (23/9/2025), ia menyatakan bahwa dirinya merasa tidak dilibatkan dalam berbagai keputusan penting, termasuk mengenai efisiensi anggaran dan Rancangan Anggaran Daerah (APBD) tahun 2026.
"Diibaratkan sepasang suami istri, dia itu hanya istrinya saja," ungkap Wabup Ahmad Bahrudin, menggambarkan posisi dirinya yang merasa dikesampingkan.
Meskipun tidak menghadiri sidang Paripurna yang seharusnya ia hadiri, Wakil Bupati Ahmad Bahrudin menegaskan bahwa ketidakhadirannya tidak akan berdampak pada jalannya sidang. Hal ini seakan menguatkan sinyal adanya jarak antara dirinya dan Bupati.
Ahmad Bahrudin juga mengingatkan kembali janji kampanye yang mereka usung bersama. Saat mendaftarkan diri ke KPU, keduanya menamakan diri GABAH (Gatutsunu-Baharudin), sebuah akronim yang seharusnya menjadi simbol persatuan dan kolaborasi. Nama ini bukan hanya sekadar identitas, melainkan juga representasi dari visi dan misi serta janji-janji yang mereka sampaikan kepada masyarakat. Namun, kondisi saat ini seolah kontras dengan semangat kebersamaan yang dulu mereka gaungkan.
Disharmoni di pemerintahan Tulungagung ini menjadi ujian berat bagi kepemimpinan Gatotsunu dan Ahmad Bahrudin. Masyarakat menanti langkah konkret dari kedua belah pihak untuk mengatasi kerenggangan hubungan ini. Stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan daerah sangat bergantung pada seberapa baik para pemimpinnya mampu bekerja sama. Jika disharmoni ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin hal itu akan menghambat program-program pembangunan dan merugikan masyarakat Tulungagung secara keseluruhan.
0 Komentar